Jumat, 11 November 2011

RATM' tidak terlepas dari.... Rock, Pemberontakan dan Komoditas Kapitalisme



Jika penggalan-penggalan huruf dalam syair lagu itu dirangkai, maka akan berbunyi: rebel. Dalam bahasa yang lebih sederhana, rebel tidak lain berarti pemberontakan. Dan, itulah sebagian kecil tema syair lagu yang sering dilantunkan kelompok hip-metal Rage Against The Machine (RATM). Tema-tema utama yang sering dinyanyikan RATM memang bernuansa politis. Bahkan lebih dari itu, untuk menunjukkan semangat pemberontakan yang digulirkan kaum muda, RATM menggunakan Che Guevara sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan. Tetapi, sebenarnya, apakah yang mereka lawan serta apa implikasi berikutnya?
RATM melakukan pemberontakan terhadap segala bentuk kemapanan, misalnya kapitalisme yang menindas kaum buruh, politik luar negeri Amerika Serikat yang terlalu arogan, serta kebijakan hukuman mati yang dianggap tidak pantas serta tidak adil terhadap tokoh-tokoh tertentu, seperti Mumia Abu Jamal. Bahkan lebih dari itu, pemberontakan yang mereka jalankan tidak hanya sebatas menyanyi, tetapi juga melakukan aksi secara nyata (taking action). Bendera AS mereka balik, mereka berkampanye untuk menghentikan embargo terhadap Irak, dan bahkan secara sensasional empat personelnya (Tom Morello, Zack De La Rocha, Timmy Commerford, serta Brad Wilk) bertelanjang bulat dengan mulut diplester, berdiri beberapa menit di atas panggung, untuk melawan penyensoran terhadap syair lagu.

Bukan Hal Baru
Sebenarnya, sikap RATM bukanlah sama sekali baru dalam sejarah pemberontakan yang dilancarkan musik rock. Jauh sebelumnya di sekitar dekade 1960-an telah muncul sejumlah pemusik rock yang melawan kemapanan juga, seperti Bob Dylan misalnya. Konser West Coast pada 1965 juga menjadi bukti perlawanan kaum muda terhadap kebijakan AS yang melanjutkan perang di Vietnam. Atau pada tahun 1969, selama tiga hari berturut-turut (15-17 Agustus) diadakan konser rock yang sedemikian megah dengan nama yang lebih dikenal sebagai Woodstock. Lagu-lagu rock yang dikumandangkan saat itu bertema antikekerasan, protes terhadap kebijakan pemerintah AS yang memberlakukan wajib militer, serta ajakan untuk melakukan reformasi.
Mengapa musik rock menjadi sedemikian terlibat dalam isu-isu yang bernuansakan politik dan antikemapanan? Jelas, karena saat itu politik yang digulirkan rezim yang sedang berkuasa sangat menindas kreativitas kaum muda, tidak menunjukkan kedamaian, serta sangat mengumbar kekerasan. Sebagai bentuk perlawanan (resistensi) terhadap hegemoni penguasa, maka muncullah gerakan mahasiswa yang dikenal sebagai Kiri Baru (New Left). Dan, generasi muda saat itu memancangkan nama Flower Generation (Generasi Bunga) untuk menunjukkan sikap mereka yang cinta perdamaian, ingin bersatu dengan alam, serta antikekerasan.
Di sini terbukti dengan jelas, musik rock berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, serta terlibat secara aktif dalam berbagai isu politik yang sedang memanas. Bukankah dengan demikian, sebenarnya, RATM merupakan kelanjutan dari sejarah pemberontakan yang dilakukan generasi-generasi (pemusik rock) sebelumnya?
Dalam pandangan Lawrence Grossberg, rock and roll merupakan sebuah ”aparatus” kebudayaan, sebuah gerakan (movement) yang dirasakan secara nyata oleh kalangan penggemarnya. Tiga karakteristik yang menunjukkan musik rock, menurut Grossberg, adalah: Pertama, musik ini diasosiasikan dengan sekelompok penggemar (fans) tertentu. Kedua, musik ini terlibat secara langsung dengan kehidupan sehari-hari para pendengarnya. Ketiga, secara keseluruhan musik rock menyajikan kenikmatan (pleasure) yang intensif bagi fans-nya, sebuah kenikmatan sensasi secara badani serta perasaan emosional.
Selain itu, rock mempunyai kekuatan oposisional karena mendefinisikan kebudayaan kaum muda (youth culture) berbeda dari pihak lain, yang cenderung ”langsung” serta ”membosankan”. Dengan menekankan pada segi-segi yang bersifat permukaan (surface), gaya (style), serta kecerdasan (artifice), musik rock beroposisi dengan ideologi dominan Pasca-Perang Dunia II yang menekankan pada keseriusan yang mendalam, tujuan, serta tatanan (order) yang mapan (Littlejohn, 1996: 236-237).

Mudah Diintervensi
Apabila diberikan penegasan, maka rock semenjak awal merupakan sebentuk identitas pemberontakan kaum muda terhadap establishment alias kemapanan. Namun, sebenarnya, dengan identitas serta karakteristik unik yang disandangnya ini, rock pun menjadi mudah untuk diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik yang mapan juga. Justru ketika rock menyuarakan pemberontakan, sebenarnya memberikan penegasan bahwa pemusik serta fans-nya merupakan bagian dari sistem yang sedang dilawannya. Resistensi yang mereka lantunkan dalam format yang terkesan radikal itu, justru memudahkan sistem (atau ideologi) yang ditentangnya menjadi semakin kuat, dan bahkan mungkin kokoh.
Hal ini dengan mengacu pada sejumlah alasan, yaitu:
Pertama, sebagai sebuah aliran musik, rock sudah masuk dalam percaturan industri lagu yang menekankan pada keuntungan (profit). Dalam kondisi semacam ini, tidak ada musik yang tidak dapat dijual, termasuk musik rock itu sendiri. Sehingga, rock dalam arena industri musik, merupakan sebentuk dari kebudayaan populer (popular culture). Rock pada akhirnya juga mewujudkan dirinya sebagai musik populer. Dengan demikian, rock diproduksi secara massal untuk dapat dinikmati secara besar-besaran oleh khalayak pendengarnya. Di sini rock pun masuk dalam budaya massa (mass culture) yang mengikuti logika kapitalisme dengan perhitungan matematis cost-benefit (untung-rugi).
Kedua, citra pemberontakan yang diusung musik rock juga gampang dimanfaatkan oleh industri kapitalisme. Dalam kaitan ini, kapitalisme tidak sekadar menjual suatu produk untuk dikonsumsi karena suatu barang atau jasa mempunyai kegunaan tertentu (use-value). Tetapi, kapitalisme yang lebih canggih justru memanfaatkan citra (image), karena suatu produk justru sangat dominan nilai-tandanya (sign-value). Perlawanan bukan lagi menjadi sejenis ancaman bagi kapitalisme dan penguasa. Tetapi perlawanan itu kemudian diakomodasi untuk kemudian dikemas menjadi sebuah mata dagangan (commodity) yang laku keras dijual.
Jika diberikan kesimpulan, merujuk pada pendapat John Storey (1994), rock sebagai budaya serta musik populer menghadapi tiga kemungkinan dalam wilayah kapitalisme, yaitu dimarginalisasikan, dilenyapkan, atau direngkuh (incorporation) untuk menjadi bagian integralnya. Agaknya, rock telah dimodifikasi dan pada akhirnya masuk dalam rengkuhan kapitalisme dengan berbagai format yang unik, seperti penyebutan rock and roll, hard rock, progressive rock, heavy metal, grunge, hardcore, grindcore, hip-metal atau rap-metal, dan sebagainya. Intinya, label musik rock terus berubah seiring dengan kecenderungan dominan metode permainan pemusiknya.
Bahkan aliran serta kelompok musikus rock yang sengaja melawan kapitalisme, digandeng oleh kalangan industrialis untuk mengawetkan sistem ekonomi yang menekankan perdagangan bebas ini. Sehingga, industrialisasi dan pemberontakan musik rock pun saling berpadu dan menjadi pasangan sempurna (tandem) bagi terus bergulirnya kapitalisme yang represif.
Menjadi relevan dalam persoalan ini jika dirujuk pendapat seorang filosof dari Frankfurt School Theodor W. Adorno. Menurut Adorno, identitas utama dari musik populer jika dibandingkan dengan musik serius adalah dalam soal standardisasi, serta khalayak yang menikmatinya dapat memperoleh hiburan (entertainment). Maka pemberontakan dalam musik rock pun sudah menjadi standar utama untuk menciptakan image tertentu. Khalayak pendengar yang menikmati musik ini, barangkali menjadi terhibur karena syair-syair lagu rock yang berisi perlawanan serta protes sosial.
Pemberontakan terhadap sistem kapitalisme yang dilancarkan musik rock, agaknya, selalu akan menemukan kegagalan. Sebab, pemberontakan itu tidak menemukan artikulasi untuk melakukan pemberdayaan terhadap mereka yang tertindas (the oppressed) dan lemah (powerless). Namun, ironisnya, pemberontakan itu justru memuncak pada bergulirnya stagnasi sikap kaum muda untuk meraih citra tertentu: Kaum muda adalah pemberontak, antikemapanan, serta setuju terhadap segala bentuk perubahan.
Dan, kapitalisme dengan suka cita memelihara pemberontakan itu menjadi sejenis komoditas yang laku keras, dengan memprovokasi bahwa memberontak itu nikmat. Bahkan kapitalisme kemungkinan saja terus berteriak dengan menegaskan: Jangan pernah berhenti (never give up) memberontak, karena di situlah kami menikmati hidup sepuas-puasnya (live up).
Musik rock pada titik kulminasinya, memang, serupa dengan nasib Che Guevara yang selalu memberontak dan melawan kapitalisme. Namun, tragisnya, justru menjadi ikon kapitalisme itu sendiri.